Aku lahir dari sebuah keluarga petani dengan perekonomian pas-pasan. Ketika anakku yang kedua lahir, aku memutuskan untuk merantau ke Singapura agar istri dan kedua anakku bisa menjalani kehidupan yang lebih baik. Hidup di Singapura tidaklah mudah. Aku jauh dari keluarga dan setiap hari aku harus bermain petak umpet dengan polisi karena statusku adalah pekerja gelap, selain itu pekerjaanku sebagai tukang bangunan juga cukup berat, namun demikian aku bertahan demi istri dan anak tercinta.
Sebulan sekali aku selalu menyempatkan diri untuk menelpon ke rumah. Kami bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk melepas rindu, namun setelah beberapa waktu, istriku hanya berbicara sepatah dua patah kata kemudian menutup telepon dengan alasan biaya interlokal mahal, sebaiknya aku tabung uangnya. Aku sungguh bersyukur memiliki istri yang begitu pengertian.
Tiga tahun kemudian aku memutuskan untuk kembali ke tanah air dan membuka usaha dengan uang hasil jerih payahku. Aku sengaja tidak memberitahu perihal kepulanganku kepada istriku karena ingin memberinya kejutan. Namun ternyata istriku sedang tidak ada di rumah. Tetangga sebelah rumah mengatakan bahwa istriku main kartu di rumah tetangga lain. Pada mulanya aku bingung, sejak kapan istriku bisa main kartu, namun setelah kupikir-pikir mungkin ia bosan sendirian di rumah.
Aku segera berlari mencari istriku di rumah tetangga tersebut, tak sabar rasanya bisa bertemu dengan istri dan anakku lagi. Ketika aku muncul di hadapan istriku, ia terlihat kaget, tetapi raut mukanya tidak terlihat senang melihat kepulangannku. Ia membawa anak-anak untuk menemuiku lalu kemudian lanjut main kartu. Aku sempat merasa ada yang aneh dengan sikapnya, namun perhatianku teralih karena sibuk melepas rindu dengan kedua anakkku.
Malam itu setelah anak-anak tertidur lelap, aku menghampiri dan memeluk erat istriku, akan tetapi ia malah menjauh dengan alasan ia masih belum biasa. Aku tidak terima dan berkata dengan nada tinggi,"Gak biasa gimana?! Kita udah punya anak dua ma!" Mendengar suaraku marah-marah, anakku yang sulung bangun dan berkata,"Papa jangan marahin mama! Mama lagi sakit! Di celananya ada darah banyak banget!" Mendengar perkataan anakku, istriku langsung menutup mulutnya dan menjelaskan bahwa ia hanya datang bulan saja. Aku tidak percaya, jika hanya datang bulan kenapa ia terlihat sedang menutupi sesuatu?
Keesokan harinya aku melihat istriku minum obat dengan sembunyi-sembunyi. Ketika ia sedang sibuk mengurus anak, aku mengambil botol obat tersebut dan menanyakannya pada orang apotek. Aku sungguh tak percaya ketika mendengar orang apotek berkata bawa obat tersebut adalah obat pasca aborsi! Dengan marah aku pulang ke rumah dan melempar botol tersebut di depan istriku. "Obat apa ini, hah? Kamu aborsi anak siapa!?
Aku kerja mati-matian demi kamu dan anak-anak, kamu malah main gila sama pria lain!" Istriku dengan marah balik berkata,"Kamu pergi dan tak kembali selama tiga tahun! Kamu masih nyalahin aku selingkuh, emang kamu sendiri gak tidur sama cewek lain?!" Aku sudah tak dapat menahan amarahku lagi ketika aku menampar istriku, ketika itu anakku melihat dan memukulku dengan tangannya yang kecil sambil berkata,"Papa jahat! Papa jangan sakiti mama! Papa pergi aja! Pergiiii!!"
Aku bekerja mati-matian demi istri dan anakku, namun apa yang kudapat? Istriku selingkuh dan anakku tidak menginginkanku! Pria mana yang bisa terima perlakuan seperti ini? Andai saja waktu bisa diulang kembali, aku lebih baik jadi petani daripada rumah tanggaku hancur berantakan.
sumber : cerpen.co.id
loading...
0 Response to "Istriku Menolak disentuh Sepulangnya Aku Dari Perantauan, Suatu Ketika Anakku Melontarkan Kalimat Yang Menyingkap Kenyataan Pahit Ini..."
Post a Comment